Kamis, 20 Agustus 2009

PERANAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) DALAM PERTUMBUHAN DANPERKEMBANGAN TUMBUHAN Sinyal kimia interseluler untuk pertama kali ditemukan pada tumbuhan. Konsentrasi yang sangat rendah dari senyawa kimia tertentu yang diproduksi oleh tanaman dapat memacu atau menghambat pertumbuhan atau diferensiasi pada berbagai macam sel-sel tumbuhan dan dapat mengendalikan perkembangan bagian-bagian yang berbeda pada tumbuhan. 
Dengan menganalogikan senyawa kimia yang terdapat pada hewan yang disekresi oleh kelenjar ke aliran darah yang dapat mempengaruhi perkembangan bagian-bagian yang berbeda pada tubuh, sinyal kimia pada tumbuhan disebut hormon pertumbuhan. Namun, beberapa ilmuwan memberikan definisi  yang lebih terperinci terhadap istilah hormon yaitu senyawa kimia yang disekresi oleh suatu organ atau jaringan yang dapat mempengaruhi organ atau jaringan lain dengan cara khusus. Berbeda dengan yang diproduksi oleh hewan senyawa kimia pada tumbuhan  sering  mempengaruhi sel-sel yang juga penghasil senyawa tersebut disamping mempengaruhi sel lainnya, sehingga senyawa-senyawa tersebut disebut dengan zat pengatur tumbuh untuk membedakannya dengan hormon yang diangkut secara sistemik atau sinyal jarak jauh 
1. Lima tipe utama ZPT 
Ahli biologi tumbuhan telah mengidentifikasi 5 tipe utama ZPT yaitu auksin, sitokinin,  giberelin, asam absisat dan etilen (Tabel 1). Tiap kelompok ZPT dapat  menghasilkan beberapa pengaruh yaitu kelima kelompok ZPT mempengaruhi  pertumbuhan, namun hanya 4 dari 5 kelompok  ZPT tersebut yang mempengaruhi perkembangan tumbuhan yaitu dalam hal diferensiasi sel.
Seperti halnya hewan, tumbuhan memproduksi ZPT dalam jumlah  yang sangat sedikit, akan tetapi jumlah yang sedikit ini mampu mempengaruhi sel target.  ZPT menstimulasi  pertumbuhan dengan memberi  isyarat kepada sel target untuk membelah atau memanjang, beberapa ZPT menghambat pertumbuhan dengan cara menghambat pembelahan atau pemanjangan sel. Sebagian besar molekul ZPT dapat mempengaruhi metabolisme dan perkembangan sel-sel tumbuhan. ZPT melakukan ini dengan cara mempengaruhi lintasan sinyal tranduksi pada sel target. Pada tumbuhan seperti halnya pada hewan, lintasan ini menyebabkan respon  selular seperti mengekspresikan suatu gen,  menghambat atau mengaktivasi  enzim, atau mengubah membran.
Pengaruh dari suatu ZPT bergantung pada  spesies tumbuhan, situs aksi ZPT pada tumbuhan, tahap perkembangan tumbuhan dan konsentrasi ZPT. Satu ZPT tidak bekerja sendiri dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, pada umumnya keseimbangan konsentrasi dari beberapa ZPT-lah yang akan mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan
Auksin : Mempengaruhi pertambahan panjang batang,  pertumbuhan, diferensiasi dan percabangan akar; perkembangan buah; dominansi apikal; fototropisme dan geotropisme.
 Sitokinin : Mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar; mendorong pembelahan  sel dan pertumbuhan secara umum, mendorong  perkecambahan; dan menunda penuaan.
 Giberelin : Mendorong perkembangan biji, perkembangan kuncup, pemanjangan batang dan pertumbuhan daun; mendorong pembungaan dan perkembangan buah; mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar.
 Asam absisat (ABA) : Menghambat pertumbuhan; merangsang penutupan  stomata pada waktu kekurangan air, memper-tahankan dormansi.
Etilenn : Mendorong pematangan; memberikan pengaruh yang berlawanan dengan beberapa pengaruh auksin; mendorong atau menghambat pertumbuhan dan  perkembangan akar, daun, batang dan bunga.       Meristem apikal tu-nas ujung, daun muda, embrio dalam biji.
2. Peranan  ZPT
 2.1. Auksin
Istilah auksin diberikan pada  sekelompok senyawa kimia  yang memiliki fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang. Beberapa auksin  dihasikan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA (indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic acid) dan IBA (indolebutyric acid) dan beberapa lainnya merupakan auksin  sintetik, misalnya NAA (napthalene acetic acid), 2,4 D (2,4 dichlorophenoxyacetic acid) dan MCPA (2-methyl-4 chlorophenoxyacetic acid) .
Gambar 2 menunjukkan pengaruh IAA terhadap pertumbuhan batang dan akar tanaman kacang kapri. Kecambah yang diberi perlakuan IAA menunjukkan pertambahan tinggi yang lebih besar (kanan) dari tanaman kontrol (kurva hitam). Tempat sintesis utama auksin pada tanaman yaitu di daerah meristem apikal tunas ujung.  IAA yang diproduksi di tunas ujung tersebut diangkut ke bagian bawah dan berfungsi mendorong pemanjangan sel  batang.  IAA mendorong pemanjangan sel  batang hanya pada konsentrasi tertentu yaitu 0,9 g/l. Di atas konsentrasi tersebut IAA akan menghambat pemanjangan sel batang. Pengaruh menghambat ini kemungkinan terjadi karena konsentrasi  IAA  yang tinggi mengakibatkan  tanaman mensintesis ZPT lain yaitu etilen yang memberikan pengaruh berlawanan dengan IAA. Berbeda dengan pertumbuhan batang, pada akar (kurva merah), konsentrasi IAA yang  rendah (<10-5 g/l) memacu pemanjangan sel-sel akar, sedangkan konsentrasi IAA yang tinggi menghambat pemanjangan sel akar. Dari Gambar 2 dapat disimpulkan :
1.         Pemberian ZPT yang sama tetapi dengan konsentrasi yang berbeda menimbulkan pengaruh  yang berbeda pada satu sel target.
2.         Pemberian ZPT  dengan konsentrasi tertentu  dapat memberikan pengaruh yang berbeda  pada sel-sel target  yang berbeda.
 Mekanisme kerja auksin dalam mempengaruhi pemanjangan sel-sel tanaman di atas dapat dijelaskan dengan hipotesis sebagai berikut : auksin menginisiasi pemanjangan sel  dengan cara mempengaruhi pengendoran /pelenturan dinding sel. Seperti terlihat pada Gambar 3, auksin memacu protein tertentu  yang ada di membran  plasma sel tumbuhan untuk  memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ ini mengaktifkan enzim tertentu sehingga memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel.  Sel tumbuhan kemudian  memanjang akibat air  yang masuk secara osmosis.  Setelah pemanjangan  ini, sel terus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma.
 Selain memacu pemanjangan sel yang menyebabkan pemanjangan  batang dan akar, peranan auksin lainnya adalah kombinasi auksin dan giberelin (Gambar 1) memacu perkembangan  jaringan pembuluh dan mendorong pembelahan sel pada kambium pembuluh sehingga mendukung pertumbuhan diameter batang.  Selain itu auksin (IAA) sering dipakai pada budidaya tanaman antara lain : untuk menghasilkan buah  tomat, mentimun dan terong tanpa biji; dipakai pada pengendalian pertumbuhan gulma  berdaun lebar dari tumbuhan dikotil di perkebunan jagung ; dan memacu  perkembangan meristem akar adventif dari stek  mawar dan bunga potong lainnya.
 2.2. Sitokinin
Sitokinin  merupakan ZPT yang mendorong  pembelahan (sitokinesis).  Beberapa macam  sitokinin merupakan sitokinin alami (misal : kinetin, zeatin) dan beberapa lainnya  merupakan sitokinin sintetik.  Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Sitokinin yang diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh xilem menuju sel-sel target pada batang.
Ahli biologi tumbuhan juga menemukan bahwa sitokinin dapat meningkatkan pembelahan, pertumbuhan dan perkembangan kultur sel tanaman. Sitokinin juga menunda penuaan daun,  bunga dan buah dengan cara mengontrol  dengan baik proses kemunduran yang menyebabkan kematian  sel-sel tanaman. Penuaan pada daun melibatkan penguraian  klorofil dan protein-protein, kemudian produk tersebut diangkut oleh floem ke jaringan meristem atau bagian  lain dari tanaman yang membutuhkannya.  Daun kacang jogo (Phaseolus vulgaris) yang ditaruh dalam wadah berair dapat ditunda penuaannya  beberapa hari apabila disemprot dengan sitokinin (Gambar 5b). Sitokinin juga dapat menghambat penuaan bunga dan buah. Penyemprotan sitokinin pada bunga potong dilakukan agar bunga tersebut tetap segar.                                                 
Pada  tumbuhan, efek sitokinin sering dipengaruhi oleh keberadaan  auksin.  Gambar 6 menunjukkan  percobaan sederhana tentang interaksi pengaruh  auksin dan sitokinin. Kedua tanaman pada Gambar 6 ini memiliki umur yang sama. Tanaman di sebelah kiri memiliki tunas ujung (tunas terminal); sedangkan tanaman di sebelah kanan kuncup terminalnya sudah dipotong. Pada tanaman di sebelah kiri, auksin yang diangkut dari kuncup terminal ke batang memacu pertumbuhan memanjang batang sehingga tanaman menjadi bertambah tinggi. Pada tanaman ini auksin menghambat pertumbuhan tunas samping (tunas lateral/aksilar).  Pada tanaman di sebelah kanan karena tidak memiliki kuncup  terminal, pengaruh menghambat dari auksin terhadap pertumbuhan tunas aksilar tidak terjadi.  Sitokinin yang ditransportasikan dari akar ke batang mampu  mengaktifkan pertumbuhan tunas-tunas samping sehingga tanaman memiliki cabang yang banyak dan menjadi rimbun. Pengetahuan tentang penggunaan sitokinin ini dimanfaatkan oleh petani yang memproduksi pohon natal untuk menghasilkan cabang-cabang yang menarik pada pohon tersebut.
 Sebagian besar tumbuhan memiliki pola pertumbuhan yang kompleks yaitu tunas lateralnya tumbuh bersamaan dengan tunas terminalnya. Pola pertumbuhan ini merupakan hasil interaksi antara auksin dan sitokinin dengan perbandingan tertentu. Sitokinin diproduksi dari akar dan diangkut ke tajuk, sedangkan auksin dihasilkan di kuncup terminal kemudian diangkut ke bagian bawah tumbuhan. Auksin cenderung  menghambat aktivitas meristem lateral yang letaknya berdekatan dengan meristem apikal sehingga membatasi  pembentukan tunas-tunas cabang dan fenomena ini disebut dominasi apikal. Kuncup aksilar yang terdapat  di bagian bawah tajuk (daerah yang berdekatan dengan akar) biasanya  akan tumbuh memanjang dibandingkan dengan tunas aksilar yang terdapat dekat dengan kuncup terminal. Hal ini menunjukkan  ratio sitokinin  terhadap auksin yang  lebih tinggi pada bagian bawah tumbuhan.
Interaksi antagonis antara auksin dan sitokinin juga merupakan salah satu cara tumbuhan dalam mengatur derajat pertumbuhan akar dan tunas, misalnya jumlah akar yang banyak akan menghasilkan sitokinin dalam jumlah banyak. Peningkatan konsentrasi sitokinin  ini akan menyebabkan  sistem tunas  membentuk cabang  dalam jumlah yang lebih banyak. Interaksi  antagonis  ini umumnya juga terjadi di antara ZPT tumbuhan lainnya.
 2.3. Giberelin
Gambar 5 menunjukkan 2 kelompok tanaman padi yang sedang tumbuh.  Kelompok di sebelah kiri adalah tanaman padi dengan pertumbuhan normal; sedangkan tanaman di sebelah kiri adalah tanaman padi dengan tinggi tanaman yang lebih besar tetapi memiliki daun yang berwarna kuning. Tanaman padi ini  telah terinfeksi oleh cendawan Gibberella fujikuroi. Bibit padi  yang telah terinfeksi  akan rebah dan mati sebelum sempat menjadi dewasa dan berbunga. Selama berabad-abad petani padi di Asia mengalami kerugian akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh cendawan ini. Di Jepang, pola pertumbuhan yang menyimpang ini disebut juga dengan “bakanae” atau “foolish seedling disease” atau “penyakit rebah anakan/kecambah“ .
 
Pada tahun 1926, ilmuwan Jepang (Eiichi Kurosawa) menemukan bahwa cendawan  Gibberella fujikuroi mengeluarkan senyawa kimia yang menjadi penyebab penyakit tersebut. Senyawa kimia tersebut dinamakan Giberelin.  Belakangan ini, para peneliti menemukan bahwa giberelin dihasilkan secara alami  oleh tanaman yang memiliki fungsi  sebagai ZPT. Penyakit rebah kecambah ini akan muncul pada saat tanaman padi terinfeksi  oleh cendawan Gibberella fujikuroi yang menghasilkan senyawa giberelin  dalam jumlah berlebihan.
Pada saat ini dilaporkan terdapat lebih dari 110 macam senyawa giberelin yang biasanya disingkat sebagai GA. Setiap GA dikenali dengan angka yang terdapat padanya, misalnya GA6 . Giberelin dapat diperoleh dari biji yang belum dewasa (terutama pada tumbuhan dikotil), ujung akar dan tunas , daun muda dan cendawan. Sebagian besar  GA yang diproduksi oleh tumbuhan adalah dalam bentuk   inaktif, tampaknya memerlukan prekursor untuk menjadi bentuk aktif.  Pada spesies tumbuhan dijumpai kurang lebih 15 macam GA. Disamping terdapat pada tumbuhan ditemukan juga pada alga, lumut dan paku, tetapi  tidak pernah dijumpai pada bakteri. GA ditransportasikan melalui xilem dan floem, tidak seperti auksin pergerakannya bersifat tidak polar.
Asetil koA, yang berperan penting pada proses respirasi berfungsi sebagai prekursor pada sintesis GA. Kemampuannya untuk meningkatkan pertumbuhan pada tanaman lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh auksin apabila diberikan secara tunggal. Namun demikian auksin dalam jumlah  yang sangat sedikit tetap dibutuhkan agar GA dapat memberikan efek yang maksimal.
Sebagian besar tumbuhan dikotil dan sebagian kecil tumbuhan  monokotil akan tumbuh cepat jika diberi GA, tetapi tidak demikian halnya pada tumbuhan konifer misalnya pinus. Jika GA diberikan  pada tanaman kubis tinggi tanamannya bisa mencapai 2 m.  Banyak tanaman yang secara genetik kerdil akan tumbuh normal setelah diberi GA.
Efek giberelin  tidak hanya mendorong  perpanjangan batang, tetapi juga  terlibat dalam proses regulasi  perkembangan  tumbuhan seperti halnya  auksin (Gambar 4).  Pada beberapa tanaman pemberian GA  bisa memacu pembungaan dan mematahkan  dormansi  tunas-tunas serta biji.
                                 
Disintesis pada  ujung  batang dan akar, giberelin  menghasilkan  pengaruh yang cukup luas. Salah satu efek utamanya adalah mendorong pemanjangan batang dan daun. Pengaruh GA  umumnya meningkatkan kerja auksin, walaupun mekanisme interaksi  kedua ZPT tersebut belum diketahui secara pasti. Demikian juga jika dikombinasikan  dengan auksin, giberelin akan  mempengaruhi perkembangan buah misalnya menyebabkan tanaman apel, anggur, dan terong menghasilkan buah walaupun  tanpa fertilisasi. Diketahui giberelin digunakan secara luas untuk menghasilkan  buah anggur tanpa biji pada varietas Thompson. Giberelin juga menyebabkan ukuran buah anggur lebih besar dengan jarak antar buah yang lebih renggang di dalam satu gerombol
 
Giberelin  juga berperan penting dalam perkecambahan biji pada banyak tanaman.  Biji-biji yang membutuhkan kondisi lingkungan khusus untuk berkecambah seperti suhu rendah akan segera berkecambah apabila disemprot dengan giberelin. Diduga giberelin yang terdapat di dalam biji  merupakan penghubung antara isyarat lingkungan dan proses metabolik yang menyebabkan pertumbuhan embrio. Sebagai contoh, air yang tersedia dalam jumlah cukup  akan  menyebabkan embrio pada biji rumput-rumputan mengeluarkan giberelin yang mendorong perkecambahan dengan memanfaatkan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji. Pada beberapa tanaman, giberelin menunjukkan interaksi antagonis dengan ZPT lainnya misalnya dengan asam absisat yang menyebabkan  dormansi biji.
2.5.1. Pematangan Buah
Pematangan buah merupakan suatu variasi dari proses penuaan melibatkan konversi pati atau asam-asam organik menjadi gula, pelunakan  dinding-dinding sel,  atau perusakan membran  sel yang berakibat pada  hilangnya cairan sel sehingga jaringan  mengering.  Pada tiap-tiap kasus, pematangan buah distimulasi  oleh gas etilen yang berdifusi ke dalam ruang-ruang antarsel buah. Gas tersebut juga dapat berdifusi melalui udara dari buah satu ke buah lainnya, sebagai contoh  satu buah apel  ranum akan mampu mematangkan keseluruhan buah dalam satu lot.  Buah akan matang lebih cepat jika buah tersebut  disimpan di dalam kantung plastik yang mengakibatkan gas etilen terakumulasi.
 
Pada skala komersial berbagai macam buah misalnya tomat sering dipetik ketika masih dalam keadaan hijau dan kemudian sebagian dimatangkan dengan mengalirkan gas etilen (Gambar 11). Pada kasus lain, petani  menghambat proses pematangan akibat gas etilen alami. Penyimpanan buah apel yang dialiri dengan gas CO2 yang selain berfungsi menghambat kerja etilen, juga  mencegah akumulasi  etilen.  Dengan teknik ini buah apel yang di panen pada musim gugur dapat disimpan untuk dijual pada musim panas berikutnya.
 
2.5.2. Pengguguran Daun
Seperti halnya pematangan buah, pengguguran daun  pada setiap musim gugur yang diawali dengan terjadinya perubahan warna, kemudian daun mengering dan gugur adalah juga merupakan proses  penuaan.  Warna pada daun yang akan gugur merupakan kombinasi pigmen-pigmen baru yang dibentuk pada musim gugur, kemudian pigmen-pigmen yang telah terbentuk tersebut tertutup oleh klorofil. Daun kehilangan warna hijaunya pada musim gugur karena daun-daun tersebut berhenti mensintesis pigmen klorofil.
Peranan etilen dalam memacu gugurnya daun lebih banyak diketahui daripada peranannya  dalam hal perubahan warna daun yang rontok dan pengeringan daun.  Pada saat daun rontok, bagian pangkal tangkai daunnya terlepas dari batang.  Daerah yang terpisah ini disebut lapisan absisi yang merupakan  areal sempit yang tersusun dari  sel-sel parenkima berukuran kecil dengan dinding sel yang tipis dan lemah. 
Setelah daun rontok,  daerah absisi membentuk parut/luka pada batang.  Sel-sel yang mati menutupi parut untuk membantu melindungi tumbuhan terhadap patogen.
Gugurnya daun dipacu juga oleh faktor lingkungan, termasuk panjang hari yang pendek pada musim gugur dan suhu yang rendah. Rangsangan dari faktor lingkungan ini  menyebabkan  perubahan keseimbangan antara etilen dan auksin.  Auksin mencegah absisi dan tetap mempertahankan  proses metabolisme daun, tetapi dengan bertambahnya umur daun jumlah etilen yang dihasilkan juga akan meningkat.  Sementara itu, sel-sel yang mulai menghasilkan etilen akan mendorong pembentukan lapisan absisi. Selanjutnya etilen merangsang lapiasan absisi  terpisah dengan memacu sintesis enzim  yang merusak dinding-dinding  sel pada lapisan absisi. Gugur daun pada musim gugur merupakan adaptasi  tumbuhan untuk mencegah kehilangan air melalui penguapan pada musim salju karena pada saat itu akar tidak mampu menyerap air pada tanah yang membeku.
 3. Aplikasi ZPT pada bidang pertanian
Seperti yang telah dibahas dimuka, ZPT sintetik sangat banyak digunakan pada pertanian modern. Tanpa ZPT sintetik untuk mengendalikan  gulma, atau untuk mengendalikan pertumbuhan dan pengawetan buah-buahan, maka produksi bahan makanan akan berkurang sehingga harganya akan menjadi mahal.  Disamping itu, muncul keprihatinan  bahwa penggunaan senyawa sintetik secara berlebihan pada produksi pangan akan menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan serius.  Sebagai conto dioksin, senyawa kimia sampingan dari sintesa 2, 4-D yang digunakan sebagai herbisida selektif untuk membasmi gulma berdaun lebar dari tumbuhan dikotil.  Walaupun 2, 4-D  tidak beracun terhadap mamalia, namun dioksin dapat menyebabkan cacat lahir, penyakit hati, dan leukimia  pada hewan percobaan.  
Sekarang ini, bagaimanapun juga, produksi bahan pangan secara organik menjadi relatif lebih mahal. Persoalan penggunaan senyawa kimia sintetik pada bidang pertanian melibatkan aspek ekonomi dan etika.  Haruskah kita teruskan memproduksi  pangan yang murah dan berlimpah dengan zat kimia sintetik dan masa bodoh terhadap masalah yang mungkin muncul, atau haruskah kita melakukan budidaya tanaman tanpa zat kimia sintetik berbahaya tetapi dengan menerima kenyataan bahwa harga bahan pangan akaTuesday March 28, 2006 - 09:10pm (PST)
Next Post: KONTROVERSI SEPUTAR PUPUK & PEMUPUKAN TANAMAN Previous Post: KIAT MEMPERBANYAK AGLAONEMA CARA CEPAT – KINERJA HORMON

Research Report from GDLHUB / 2006-01-17 09:25:27
PERAN HORMON GIBERELIN DALAM PEMECAHAN DORMANSI BIJI JATI (Tectona grandis Linn. F.)


By: Fatimah
Email: library@lib.unair.ac.id; library@unair.ac.id
Faculty of Mathematics and Natural Science Airlangga
Created: 2006-01-17 , with 1 file(s).

Keywords: GIBBERELLIS; TEAK
Subject: GIBBERELLIS; TEAK
Call Number: KKB KK-2 LP.130/05
Beragamnya penggunaan kayu jati yang menyebabkan tingginya permintaan akan bahan baku kayu jati, selama ini tidak diimbangi dengan laju produksi tanamannya. Untuk memenuhi permintaan tersebut, upaya penanaman kembali sangat diperlukan. Pengembangan tanaman jati secara konvensional (generatif) memiliki kendala teknis berupa kulit buah yang keras. Kulit buah ini sedemikian kerasnya sehingga bila akan disemai perlu diberi perlakuan awal. Perhutani yang menerapkan pembakaran kulit buah dengan rumput kering hanya dapat menghasilkan persentase tumbuh sekitar 45 % (Sutnama, 2003). Rendahya persentase perkecambahan bisa disebabkan embrio mengalami kerusakan pada saat perlakuan awal. Selain itu rendahnya persentase perkecambahan pada biji jati disebabkan biji mempunyai masa dormansi (masa istirahat) yang relatif cukup lama. Giberelin merupakan hormon tumbuh yang mampu mengatasi dormansi biji pada berbagai spesies dan berlaku sebagai pengganti suhu rendah, hari yang panjang dan atau cahaya merah. Salah satu efek giberelin pada biji adalah mendorong pemanjangan sel sehingga radikula dapat menembus endosperm kulit biji atau kulit buah yang membatasi pertumbuhan (Sallisbury & Ross, 1995).
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan (1) apakah terdapat perbedaan pengaruh antara pemberian beberapa konsentrasi giberelin dan perlakuan awal (H2SO4, KNO3, air panas, air dan penipisan kulit biji) terhadap kecepatan dan persentase perkecambahan biji serta pertumbuhan tanaman jati (Tectona grandis Linn. F), (2) berapakah konsentrasi giberelin yang paling baik dalam mempengaruhi perkecambahan biji serta pertumbuhan tanaman jati, (3) kombinasi perlakuan yang manakah yang paling baik dalam mempengaruhi perkecambahan biji serta pertumbuhan tanaman jati.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh pemberian beberapa konsentrasi giberelin dan perlakuan awal (perendaman dalam H2SO4, KNO3, air panas atau air serta penipisan kulit biji) terhadap kecepatan dan persentase
perkecambahan biji serta pertumbuhan tanaman jati, (2) mengetahui konsentrasi giberelin yang paling baik untuk meningkatkan kecepatan dan persentase perkecambahan biji serta pertumbuhan tanaman jati, dan (3) mengetahui pengaruh kombinasi antara pemberian berbagai konsentrasi giberelin dengan perlakuan awal (perendaman pada H2SO4, KNO3, air panas atau air biasa serta penipisan kulit biji) terhadap kecepatan dan persentase perkecambahan biji serta pertumbuhan tanaman jati.
Penelitian ini menggunakan 300 biji jati yang diperoleh dari PT. MIM Mojokerto, penyedia bibit Jati Emas. Terdapat 30 perlakuan yaitu perlakuan hormon 4 tingkat yaitu GI, G2, G3 dan G4 (berturut turut 1, 10, 100, dan 200 ppm), perlakuan kimia 2 tingkat yaitu biji direndam dalam H2SO4 pekat selama 20 menit (P1), biji direndam dalam KNO3 2 % selama 24 jam (P2), perlakuan fisik 2 tingkat yaitu biji direndam dalam air panas (40°C) selama 42 jam (P3) dan biji direndam dalam air selama 24 jam, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 14 hari (P4), penipisan kulit buah 1 tingkat (P5), serta perlakuan kombinasi antara giberelin dengan perlakuan fisik atau kimia (4x5 tingkat). Masing-masing perlakuan diulang 10 kali dengan menggunakan satu biji setiap ulangan. Pengamatan dilakukan pada hari ke-3 setelah tanam, dan diikuti perkembangannya hingga 3 bulan setelah tanam. Parameter yang diukur adalah waktu yang diperlukan biji untuk berkecambah (kecepatan perkecambahan), persentase perkecambahan, dan pertumbuhan tanaman jati (tinggi batang, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun). Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan, data tentang tinggi batang, jumlah daun, panjang dan lebar daun dianalisis dengan menggunakan Analisis Varian (ANAVA). Apabila terdapat perbedaan yang berrnakna dilanjutkan dengan uji Duncan. Sementara itu data mengenai kecepatan dan persentase perkecambahan dianalisis tanpa statistik, sebab biji yang belum tumbuh hingga 3 bulan pengamatan tidak dapat ditabulasikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh antar perlakuan terhadap kecepatan dan persentase perkecambahan serta pertumbuhan tanaman jati. Persentase perkecambahan tertinggi (40%) terdapat pada perlakuan giberelin 10 ppm (G2). Perlakuan ini menyebabkan batang menjadi lebih tinggi,daun yang terbentuk lebih banyak, serta lebih panjang dan lebih lebar dibanding kontrol maupun kelompok perlakuan yang lain. Sementara itu perlakuan kombinasi antara H2SO4 dengan giberelin 1 ppm berpengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman jati. Berdasarkan basil penelitian ini disimpulkan bahwa (1) terdapat perbedaan pengaruh antara pemberian giberelin dengan perlakuan lainnya terhadap kecepatan dan persentase perkecambahan serta pertumbuhan tanaman jati, (2) konsentrasi giberelin yang paling baik dalam mempercepat perkecambahan serta meningkatkan pertumbuhan tanaman (tinggi batang, jumlah daun, panjang dan lebar daun) adalah giberelin 10 ppm (G2), (3) kombinasi perlakuan yang memberi efek lebih baik dibanding perlakuan lain adalah kombinasi antara H2SO4 dengan giberelin 1 ppm (P1G1).
Copyrights:
Copyright©2004 by Airlangga University Library, Surabaya
http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-res-2006-fatimah-286&PHPSESSID=86813521b566df5169e868151971d8c9
Peran Giberelin, Pupuk, dan Paklobutrazol pada Pembesaran Subang Gladiol Asal Biji
May 26, 2008 by wuryan
Waktu antara terbentuknya biji sampai menghasilkan subang yang mampu berbunga sebagai salah satu tahapan seleksi bunga gladiol membutuhkan 2 – 4 tahun. Hal ini disebabkan oleh subang yang terbentuk dari biji terlalu kecil. Sedangkan untuk menghasilkan bunga dengan ukuran standard diperlukan subang yang berdiameter lebih dari 3 cm atau minimum 2,5 cm. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik pembesaran subang yang berasal dari biji dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias dengan dua tahapan yaitu tahap pertama melakukan persilangan untuk mendapatkan biji sedangkan tahap kedua adalah perlakuan pada biji yang dihasilkan pada tahapan pertama. Percobaan perlakuan pada biji menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama yaitu tiga level GA3 yaitu 0, 100 dan 200 ppm. Faktor kedua level aplikasi pemberian hara yaitu : 1) Penyiraman pupuk NPK + mikro = 15 : 15 : 15 dengan dosis 1 g/l pada media seminggu sekali. 2) Penyemprotan pupuk NPK + mikro) seminggu sekali pada umur 20 hari sesudah tanam disemprot paklobutrazol 10 ppm. 3) Penyemprotan pupuk NPK + mikro seminggu dua kali pada umur 20 hari dan 40 hari sesudah tanam disemprot paklobutrazol 10 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman dalam larutan 100 ppm GA3 menghasilkan subang dengan diameter > 1 cm nyata 2,38 kali lebih banyak dengan bobot subang 2,3 lebih berat dibandingkan tanpa perlakuan GA3. Dengan diperolehnya subang gladiol dengan diameter lebih besar 1 cm pada pertanaman pertama dapat menghemat waktu satu periode tanam yang lamanya kurang lebih 8 bulan. Sehingga proses seleksi bunga dapat dipercepat satu periode tanam.
Kata kunci : Gladiolus hybridus; Biji; Giberelin; Pupuk; Paklobutrazol; Subang
ABSTRACT. Wuryaningsih, S., S. Soedjono, D. S. Badriah and A. Abdurachman. 2002. The Effect of gibberellins, fertilizer, and paclobutrazol on gladiolus seed. The time between seed and corm formation flower of gladiolus was a one step of selection which needs 2 – 4 years. It was due to corm formation from seed was too small. On the other hand to result gladiolus flower with quality standard the minimum size of corm was 3 cm or 2.5 cm. To find out technique of corms enlargement from gladiolus seed research was conducted at Indonesian Ornamental Crops Research Institute from March to December 2001. The trials were consisting of two periods. First step was hybridization to find out gladiolus seeds and the second step were seed treatment. A factorial randomized block design consisted of two factors and five replications were used. The first factor was three concentration of GA3 (0, 100 and 200 ppm) and the second one was three fertilizers application (1) NPK + micro = 15: 15: 15 dosage 1 g/l every weeks. 2) NPK + micro = 15: 15: 15 dosage 1 g/l every week and 30 days after planting sprayed by paclobutrazol 10 ppm. 3) NPK + micro = 15: 15: 15 dosage 1 g/l every week and 30 days and 45 days after planting sprayed by paclobutrazol 10 ppm ). The research results showed that dipping seed on 100 ppm GA3 solution produced corm (with diameter more than 1 cm) 2,38 times and weight 2,3 times compared that on control. With the finding of diameter gladiolus corm more than one cm at the first planting could be reduced one period planting about 8 months. So, the flower selection process could be accelerated one planting period.
Key Words: Gladiolus hybridus ; Seed; Giberellin; Fertilizer; Paclobutrazol; Corm.
PENDAHULUAN
Gladiol (Gladiolus hybridus) adalah salah satu kornoditas tanaman hias yang potensial untuk dibudidayakan seeara rneluas, karena nilai estetikanya baik sebagai bunga potong maupun taman dan mampu meningkatkan pendapatan petani. Gladiol termasuk kelompok lima besar bunga potong yang diekspor tahun 2000 dengan negara tujuan terutama Jepang (Satsiyati et al. 2003).
Umur tanaman gladiol dari mulai tanam sampai berbunga berkisar 60 – 80 hari bergantung pada kultivarnya. Secara konvensional umumnya gladiol diperbanyak dengan subang (corm) dan anak subang (cormel). Sedangkan perbanyakan dengan biji hanya dilakukan untuk mendapatkan kultivar baru. Anak subang dapat berasal dari pertanaman gladiol yang berasal dari subang ataupun dari biji. Biji gladiol langsung dapat ditanam dan berkecambah kurang lebih 1 minggu. Tanaman tumbuh sampai menghasilkan anak subang yang berdiameter kurang dari 1 cm kira-kira 5 bulan. Waktu yang dibutuhkan dari anak subang hingga menghasilkan bunga berukuran standar yaitu 2 – 4 tahun. Lama waktu tersebut antara lain disebabkan oleh masa dormansi. Masa dormansi anak subang lebih lama dari pada subang yaitu dapat mencapai 6 bulan. Untuk menghasilkan bunga dengan kualitas yang baik maka ukuran subang bibit yang dianjurkan berdiameter lebih dari 3 cm atau minimum 2,5 cm kecuali Golden Boy yang cukup diameter 1 cm. Warna merupakan karakter utama yang disukai oleh konsumen walau tidak ada standarnya. Ukuran standar bunga potong gladiol sebagai bunga potong , panjang tangkai 81 – 96 cm, jumlah bunga per tangkai minimum 12 kuntum, dan diameter bunga antara 11,5 – 14 cm (wilfret 1980 dalam Larson, 1980).
Masalah yang dihadapi dalam pemuliaan gladiol adalah waktu antara terbentuknya biji sampai menghasilkan subang yang mampu berbunga sebagai salah satu tahapan seleksi membutuhkan 2 – 4 tahun. Hal ini disebabkan oleh subang yang terbentuk dari biji terlalu kecil. Oleh karena itu diperlukan perlakuan untuk mendorong pembesaran subang yang berasal dari biji. Apabila perlakuan ini berhasil akan mempunyai prospek efisiensi waktu minimal setengah dari metode yang sudah dilakukan atau menghemat satu periode pertumbuhan gladiol dari subang – bunga – subang. Ukuran subang berpengaruh terhadap waktu tumbuhnya tunas, produksi subang, dan bunga (wilfret 1980 dalam Larson 1980; Laskar & Yana 1994; Sanjaya 1995).
Giberelin secara fisiologis berpengaruh terhadap pembelahan atau pembesaran sel (Weaver 1972) oleh karena itu diperlukan aplikasi konsentrasi giberelin dan ketersediaan hara dalam memacu pembesaran anak subang. Penyemprotan GA3 pada daun saat munculnya tangkai bunga mendorong terbentuknya anak subang (Imanishi et al. 1970). Pencelupan subang dalam larutan GA3 100 mg selama 24 jam dari tiga kultivar gladiol dilaporkan dapat meningkatkan bobot subang menjadi 239,4 dan 59,1 % (Arora et al. 1992). Sedangkan Soedjono (1992) melaporkan bahwa bobot subang gladiol naik dengan pemberian air kelapa 600 ml/l (81,49 g), GA3 75 mg/l (95,73 g) dan greenzit 4 dan 6 ml/l (81,53 dan 87,75 g) dibanding kontrol 78,24 g. Pemberian larutan dilakukan pada waktu tanam dengan cara mencelupkan umbi yang akan ditanam. Selanjutnya berturut – turut seminggu sekali selama satu bulan setelah tanam, larutan disiramkan pada subang. Giberelin terbukti dapat menggantikan perlakuan suhu rendah (vernalisasi ) pada beberapa tanaman benial seperti bawang putih (Satsiyati dkk., 1986). Panjang petiol bayam juga meningkat dengan giberelin (Johnson dkk., 1989). Menurut Dahab dkk., (1987), giberelin dapat mempercepat pembungaan C. frustescent. Giberelin juga mendorong sintesis dari enzym tertentu dalam biji. Perendaman biji palem raja dan palem kuning dalam larutan GA3 mampu mempercepat perkecambahannya (Sharma & Sing 1981). Perendaman biji palem selama 72 jam dalam konsentrasi GA3, 1000 ppm diperoleh daya kecambah 83,5 % (Soedjono & Suskandari, 1997).
Paklobutrazol atau betha-[(chlorophenyl) methyl -alpha- (1,1-dimethyl)-H-1,2,4 triazole - 1- ethanoll)], merupakan salah satu zat penghambat pertumbuhan yang berfungsi menghambat pertumbuhan bagian vegetatif tanaman menjadi mengecil dan merangsang pcrtumbuhan bunga yang digunakan secara teratur pada berbagai produksi komersial (Wilkinson & Richard 1987). Pemberian paklobutrazol yang dikombinasikan dengan pemupukan dan pengairan dapat meningkatkan ranting reproduktif mangga 8,6 % bila dibandingkan dengan aplikasi paklobutrazol secara mandiri (Tegopati et al. 1994). Penggunaan paklobutrazol merangsang pembungaan 2 bulan lebih awal dengan jumlah hunga lebih banyak dibandingkan tanpa paklobutrazol (Yuniastuti et al. 2001). Tanggap suatu zat penghambat tumbuh yang diberikan akan berbeda-beda dengan perbedaan spesies ataupun kultivar. Pemberian paklobutrazol secara tidak langsung menginduksi pembungaan dan diduga karena rasio fase vegetatif dan generatif yaitu pertumbuhan vegetatif dihambat dan hasil fotosintesis dialokasikan untuk pembentukan bunga (Weaver 1972). Terhambatnya aktivitas pertumbuhan kemungkinan disebabkan oleh terhambatnya biosintesis giberelin. Paklobutrazol menghambat biosisntesis giberelin dengan menghambat oksidasi kaurene menjadi asam kaurenoik. Paklobutrazol yang antigiberelin bekerja dengan menghambat pemanjangan internodia dan pelebaran daun yang disebabkan oleh terhambatnya pemanjangan sel (Wample & Culver 1983).
Hipotesis penelitian dapat dirumuskan bahwa pembesaran subang gladiol yang berasal dari biji dipengaruhi oleh perendaman dalam giberelin, pupuk dan paklobutrazol.
Berdasarkan hal – hal tersebut maka percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan teknik pemacuan pertumbuhan dan pembesaran subang yang berasal dari biji hasil persilangan. Data dianalisis menggunakan uji beda nyata jujur pada taraf 5 %.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias dari bulan Maret sampai Desember 2001 dengan dua tahapan yaitu tahap pertama melakukan persilangan untuk mendapatkan biji sedangkan tahap kedua adalah perlakuan pada biji yang dihasilkan pada tahapan pertama.
Percobaan pertama merupakan tahap persiapan bahan yaitu melakukan persilangan antara tetua jantan Holland merah dengan tetua betina Holland merah dengan metode dan teknik budidaya standar (pemupakan dilakukan tiga kali yaitu saat tanaman berdaun 2 – 3 helai dan 5 – 6 helai serta setelah panen bunga masing – masing 5 g/tanaman dengan pupuk NPK (15 : 15 : 15). Biji dipanen apabila buah telah kering yaitu 1 bulan setelah penyerbukan. Biji hasil persilangan ini 2 minggu sesudah panen digunakan untuk percobaan kedua.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial dengan lima ulangan. Faktor pertama adalah perendaman biji gladiol dengan tiga taraf GA3 yaitu 0, 100 dan 200 ppm. Biji direndam dalam larutan GA3 selama 1 malam. Selanjutnya biji ditanam pad abak – bak yang berisi tanah yang sudah disterilisasi dengan menggunakan uap panas selama 1 jam. Faktor kedua cara pemberian pupuk yaitu : 1) Penyiraman pupuk NPK (15 : 15 : 15 ) + multi mikro dengan dosis 1 g/l pada media seminggu sekali. 2) Penyemprotan pupuk NPK (15 : 15 : 15 ) + multi mikro seminggu sekali, pada umur 20 HST disemprot paklobutrazol 10 ppm. 3) Penyemprotan pupuk NPK (15 : 15 : 15 ) + multi mikro seminggu dua kali, pada umur 20 dan 40 HST disemprot paklobutrazol 10 ppm. Pemberian pupuk dimulai 2 minggu setelah biji berkecambah dan diakhiri pada saat tanaman umur 4 bulan. Setiap kombinasi perlakuan 80 biji. Penanaman dilakukan pada bak – bak yang berukuran 34 X 44 X 12 cm dengan kerapatan 80 biji/bak. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan penyemprotan pestisida dilakukan secara rutin disesuaikan dengan kondisi pertanaman di lapangan. Pada umur 6 bulan ketika daun – daun sudah mulai menguning tanaman dibongkar dan diamati subang yang dihasilkan. Peubah yang diamati adalah : a). persentase tanaman yang tumbuh, b). jumlah subang, e). diameter subang, d). bobot subang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biji yang digunakan sebagai bahan percobaan merupakan hasil silangan yang dipanen pada umur 1 bulan setelah penyerbukan. Biji gladiol 2 minggu sesudah panen diberi perlakuan perendaman GA3 selama 24 jam, ditiriskan kemudian ditanam dan berkecambah kurang lebih 1 minggu. Persentase kecambah biji gladiol yang diamati pada umur satu bulan setelah tanam menunjukkan hasil tidak berbeda nyata baik antara level perendaman GA3 maupun pemupukan (Tabel 1). Hal ini menunjukkan adanya keseragaman perkecambahan di antara perlakuan pada awal penelitian sebelum perlakuan pemupukan.
Hasil analisis data yang disajikan pada Tabel I dan 2 menunjukkan bahwa perendaman biji gladiol dalam larutan GA3 maupun pemupukan yang dikombinasikan dengan penyemprotan paklobutrazol tidak berpengaruh nyata terhadap persentase tumbuh maupun jumlah subang. Pada pengamatan diameler subang >1 cm dapat diketahui bahwa perendaman biji gladiol dalam larutan GA3 berpengaruh nyata terhadap jumlah subang dengan diameter > I cm. Perendaman dalam larutan 100 ppm GA3 menghasilkan subang dengan diameter > 1 cm nyata 2,38 kali lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan GA3 (kontrol). Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa pengaruh perendaman biji gladiol dalam larutan GA3 berpengaruh nyata terhadap bobot subang total. Perendaman dalam larutan 100 ppm GA3 menghasilkan subang dengan bobot subang 2,3 lebih berat dibandingkan tanpa perlakuan GA3.
Tabel 1 : Pengaruh GA3 dan pupuk terhadap persentase tumbuh, jumlah subang, jumlah subang dengan diameter > 1 cm ( The effect of GA3 and fertilizer on the percentage of gladiolus seed sprouting, corm number, and corm number with diameter more than 1 cm), Cipanas 2001

Perlakuan (Treatment) Persentase tumbuh (Sprouting percentage) Jumlah subang (corm number) Jumlah subang diameter > 1 cm (corm number with diameter more than 1 cm)
Perendaman GA3 Subang %
0 ppm 65,69 a 46,40 a 3,87 b 7,62 b
100 ppm 66,88 a 53,00 a 9,20 a 17,12 a
200 ppm 69,31 a 50,27 a 6,80 ab 12,45 ab
Pemupukan
1 X seminggu 66,81 x 50,53 x 5,47 x 10,21 x
1 X seminggu + paklobutrazol 10 ppm pd 20 HST 69,31 x 46,40 x 6,07 x 12,00 x
1 X seminggu + paklobutrazol 10 ppm pd 20 dan 40 HST 65,76 x 52,73 x 8,33 x 14,99 x
Interaksi TN TN TN TN
Angka yang ditandai oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata jujur pada taraf 5 % (the value followed by the same letter are not significantly different according to hsd at five percent level). *) minggu setelah tanam (week after planting)
Tabel 1 : Pengaruh GA3 dan pupuk terhadap Bobot subang total dan rataan bobot/ subang ( The effect of GA3 and fertilizer on corm weight and mean of corm weight/corm), Cipanas 2001

Perlakuan (Treatment) Bobot subang total (Corm weight) Rataan bobot/ subang (Mean of corm weight/corm)
Perendaman GA3 g g
0 ppm 3,29 b 0,80 a
100 ppm 7,55 a 0,81 a
200 ppm 5,51 ab 0,80 a
Pemupukan
1 X seminggu 4,37 x 0,77 x
1 X seminggu + paklobutrazol 10 ppm pd 20 HST 3,32 x 0,83 x
1 X seminggu + paklobutrazol 10 ppm pd 20 dan 40 HST 6,66 x 0,80 x
Interaksi TN TN
Angka yang ditandai oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata jujur pada taraf 5 % (the value followed by the same letter are not significantly different according to hsd at five percent level). *) minggu setelah tanam (week after planting)
Ukuran subang berpengaruh terhadap waktu tumbuhnya tunas, masa dormansi, persentase bertunas, serta produksi subang dan bunga (Wilfret 1980 dalam Larson 1980; Laskar & Yana 1994; Sanjaya 1995). Menurut Wilfret (1980 dalam Larson 1980) berdasarkan diameternya, subang gladiol diklasifikasi menjadi enam kelas, Sedangkan menurut The North American Gladiolus Council menjadi tiga kelas. Wifret (1980 dalam Larson 1980) membagi subang gladiol menjadi 6 kelas berdasarkan diameter subang yaitu kelas 1 diameter subang >3,5 cm; kelas 2 diameter subang 3,0 – 3,5 cm; kelas 3 diameter subang 2,5 - 3,0 cm; kelas 4I diameter subang 2,0 - 2,5 cm; kelas 5 diameter subang 1,5 - 2,0 cm, dan kelas 6 diameter subang < 1,5 cm, Sedangkan tingkat ukuran subang gladiol yang dikembangkan oleh The North American Gladiolus Council (Wilfret, 1980 dalam Larson 1980) adalah (1) kelas besar terdiri atas jumbo dengan diameter subang >5.1 cm dan nomor 1 dengan diameter subang 3,8 - 5,1 cm; (2) kelas medium terdiri atas nomor 2 dengan diameter subang 3,2 - 3,8 cm dan nomor 3 dengan diameter subang 2,5 - 3,2 cm; (3) kelas kecil terdiri atas nomor 4 dengan diameter subang 1,9 - 2,5 cm; nomor 5 dengan diameter subang 1,3 – 1,9 cm, dan nomor6 dengan diameter subang 1,0 - 1,3 cm.
Waktu yang dibutuhkan dari biji hingga menghasilkan bunga berukuran standar yaitu antara 3-4 tahun, Hal ini antara lain disebabkan oleh masa dormansi dan besamya anak subang untuk dapat menghasilkan bunga dengan tipe standar, Masa dormansi anak subang lebih lama dari pada subang yaitu clapat mencapai 6 bulan, Untuk menghasilkan bunga dengan kualitas yang baik ukuran subang bibit yang digunakan berdiameter lebih dari 3 cm atau minimum 2,5 cm kecuali golden boy yang cukup diameter1 cm. Sebagai ilustrasi dapat diuraikan sebagai berikut biji gladiol tidak mengalami dormansi, berkecambah setelah + 1 minggu setelah tanam. Tanaman tumbuh sampai kira-kira 5 bulan dan menghasilkan anak subang yang berdiameter kurang dari 1 cm, Anak subang ini kemudian memasuki masa dormansi 5-6 bulan. Anak subang yang selanjutnya ditanam untuk pembesaran sampai ± 4-5 bulan dan menghasilkan anak subang dengan diameter <2 cm, Kemudian memasuki masa dormansi + 3-4 bulan. Anak subang dengan diameter <2 cm ditanam sampai ± 4-5 bulan yang akan menghasilkan subang dengan diameter >2 cm yang akan memasuki masa dormansi ±3-4 bulan. Selanjutnya ditanam untuk menghasilkan bunga ukuran standar dengan periode panen 60-80 hari dan menghasilkan subang maupun anak subang yang terbatas dan dapat dilakukan seleksi secara kualitatif maupun kuantitatif.
Perendaman biji dalam larutan GA3 menunjukkan bahwa konsentrasi GA3 berpengaruh nyata terhadap hasil subang gladiol pada pertanaman pertama yaitu menghasilkan subang dengan diameter >1cm. Perendaman dalam larutan 100 ppm GA3 nyata menghasilkan subang dengan diameter > 1 cm yaitu 2,38 kali lebih banyak dengan bobot subang 2,3 kali lebih berat dibandingkan tanpa perlakuan GA3 (Tabel 1). Sedangkan perlakuan dengan 200 ppm GA3 menghasilkan subang dengan diameter >1 cm 1,75 kali lebih banyak dengan bobot subang 1,7 kali dibandingkan tanpa perlakuan GA3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dalam larutan GA3 pada biji gladiol mempunyai pengaruh yang sama dengan perendaman subang dalam larutan GA3
Pertumbuhan tanaman membutuhkan karbohidrat sebagai sumber energi antara lain gula dan protein sebagai bahan penyusun sel – sel baru. Menurut Weaver (1972), asam giberelat mendorong pembentukan enzim amilase. Enzim ini mengkatalisis perubahan pati menjadi gula yang digunakan sebagai sumber energi. Dengan demikian pemberian GA3 selain akan mendorong pembelahan dan pembesaran sel juga menstimulir terbentuknya energi sehingga dihasilkan subang lebih banyak dan lebih besar. Hasil tersebut seiring dengan yang dilaporkan Arora et al., (1992) bahwa pencelupan subang gladiol dalam larutan GA3 menghasilkan bobot subang dan diameter subang meningkat 239,4 % dan 59,1 % jika diperlakukan pada 100 mg/l. Sedangkan Soedjono, (1992) melaporkan bahwa bobot subang gladiol naik dengan pemberian air kelapa 600 ml/l, GA3 75 mg/l dan greenzit 4 dan 6 ml/l
Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa perendaman biji gladiol pada 100 ppm GA3 menghasilkan subang gladiol dengan diameter > 1 cm hasil pertanaman pertama ini apabila ditanam satu kali lagi sesudah dormansi 3 – 4 bulan diharapkan akan menghasilkan subang dengan diameter > 3cm sehingga pada penanaman berikutnya dapat dihasilkan bunga. Dengan demikian akan dapat menghemat satu periode tanam yang lamanya kurang lebih 8 bulan. Sehingga proses seleksi bunga dapat dipercepat satu periode tanam.
KESIMPULAN
Perendaman dalam larutan 100 ppm GA3 menghasilkan subang dengan diameter > 1 cm 2,38 kali kali lebih banyak dengan bobot subang 2,3 kali lebih besar dibandingkan kontrol. Hasil penelitian ini dapat menghemat waktu proses seleksi bunga satu periode tanam yang setara dengan 8 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arora, J.S., S. Kushal., N.S. Grewal. 1992. Effect of GA3 on cormel growth in gladiolus. Indian J. of plant physiol. 35 (2) : 202 – 206.
2. Dahab, A.M.A., R.S. Eldahb and M.A. Salem. 1987. Effect of gibberellic acid on growth, flowering, and constituents of C. frustescens. Acta Hort. 205 : 129 – 135.
3. Imanishi, H. Sasaki,K and Oe.M. 1970. Further studies on the cormel formation in gladiolus. Bull.Univ.Osaka. Series B 22 : 1 17.
4. Johnson, J.R., J.W. Rushing and R.M. Janice. 1989. Gibberellic acid influences petiole characteristics and post harvest quality of fresh-marked spinach. HortSci. 42 (5) : 85.
5. Larson, R.A. 1983. Introduction to floriculture. Acad. Press.Inc. London
Dr. Kumala Dewi, M.Sc.St.
k.dewi@eudoramail.com Dr. : School of Biochemistry and Molecular Biology, The Australian National University,
Australia (2006), bidang Plant Growth and Development/Plant Hormones. M.Sc.St. : Plant Science Department, the
University of Tasmania, Australia (1994), bidang Plant Growth and Development/Plant Hormones. Minat Penelitian :
Hormon tumbuhan, fisiologi biji Siklus hidup tumbuhan meliputi beberapa proses seperti perkecambahan,
perkembangan akar dan tunas, pemanjangan batang, pembungaan, perkembangan buah dan biji. Sepanjang siklus
hidup tumbuhan, hormon-hormon tumbuhan mempunyai peran yang sangat penting dalam pengaturan proses
pertumbuhan dan perkembangan. Pada masa kini, penelitian-penelitian mengenai sintesis dan mekanisme aksi hormon
tumbuhan telah difokuskan pada level molekuler. Sebagai contoh, beberapa gen pengkode enzim-enzim yang
mengkatalisis sintesis hormon giberelin (GA 20-oksidase dan GA 3-oksidase) telah berhasil diisolasi dan diklon.
Modifikasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat dilakukan melalui modifikasi ekspresi gen-gen tersebut.
Hormon-hormon tumbuhan juga terlibat dalam proses partisi asimilat. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan
pangan, kita perlu meningkatkan pemahaman mengenai dasar-dasar mekanisme partisi asimilat, dan hal ini sangat
berkaitan dengan proses sintesis dan pengiriman sinyal-sinyal hormon ke organ-organ yang menjadi target aksi hormon.
Penelitian-penelitian mengenai analisis hormon, efek hormon, dan pemahaman yang komprehensif akan adanya
keterkaitan antara hormon yang satu dengan yang lain diharapkan dapat mendukung upaya-upaya untuk mewujudkan
ketahanan pangan yang berkesinambungan. Topik-topik penelitian yang direncanakan dan diharapkan dapat dilakukan
dalam waktu dekat diantaranya : a) penelitian mengenai peran hormon dalam proses pembentukan umbi/ rhizome. b)
penelitian mengenai mekanisme pematahan dormansi biji dan dormansi tunas. c) penelitian mengenai peran hormon
giberelin pada proses pembungaan. d) pengembangan tehnik-tehnik untuk mengontrol pertumbuhan tanaman dengan
memodifikasi kandungan hormon dalam rangka mendukung progam peningkatan produksi pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar